Jazz ballet

Saturday, January 7, 2012

Aku.. Kamu.. atau Kita? (Part 2)

Malam ini cukup dingin, sisa-sisa Desember yang basah masih terbawa ke awal tahun yang, masih abu-abu bagiku. Kami duduk berhadapan di pojok sebuah café gedung pencakar langit ibukota. Menatap ke arah lampu-lampu kota yang jauh berada di bawah. Dari lantai 20, Ibukota tampak gemerlap indah dan sukses menambal carut-marut kota pinggiran kota, bahkan jalanan di jantung kota.
Ralat. Bukan menambal, lebih tepat kukatakan menyamarkan. Karena pada kenyataannya tak ada perbaikan di ibukota negeri khatulistiwa ini. Yang ada hanya ‘pemaksaan’. Memaksa membangun fly-over, pencakar langit, penggusuran makam bahkan kini terdengar kabar tentang pembuatan jalan bawah makam –bukan bawah tanah-. Terserahlah.

Tiga puluh menit sudah kau dan aku terbawa dalam pembicaraan. Basa-basi, maaf saja jika aku menggangapnya seperti itu. Bercerita ini dan itu tapi tidak terlihat keseriusan untuk memperhatikan pembicaraan satu sama lain.

Rumah, mall, kampus. Kutulis tiga tempat itu menjadi tempat-tempat yang kusinggahi dengan skala yg tidak jauh berbeda, mungkin skalanya 6:4:5. Mahasiswa tingkat akhir, sangat akhir, hingga jika saja ada yang bertanya “sekarang semester berapa?” tidak akan pernah terdengar jawaban yang santai, singkat, padat dan jelas, jawaban kami absurd, dibawa bercanda, atau jawaban-jawaban klasik seperti “semester akhir” dimana orang yang mendengarkan jawaban itu mendadak paham dan tersenyum kecut. Beberapa kali kami terpisah jarak yang jauh selama satu tahun terakhir ini, tapi itu menyenangkan, bila kami bertemu terlihat senyum yang lebar dan berbagi cerita sebanyak-banyaknya.

Aku sempat beberapa kali bekerja d itempat yang tidak pernah dijamah olehnya. Di tengah dua gunung, ya, haha di tengah dua gunung, lalu di tempat yang tak jauh dari rumahku, kemudian di lantai 12 di sebuah perusahaan konstruksi di tengah kota. Begitu juga dia, ahahaha aku lupa dia pernah bekerja apa saja. Seingatku dia pernah bekerja di pinggir kota di sebuah tempat recovering drugs addict, lalu di lalala rabit, kemudian di tempat rahasia—namun dipending entah sampai kapan— selain itu dia juga pernah bekerja di biro-biro psikologi, dan terakhir dia direkruit di, yaa semacam biro psikologi juga, sebagai, mmm, peer conseling, entah berapa nilai dari ingatanlu barusan, hahaa..


Posisi duduk kami berhadapan, entah posisi duduk macam ini dimulai sejak kapan, biasanya kau selalu duduk di sebelahku, mungkin sekarang mukaku sudah sedikit lebih baik hingga kau tahan melihat wajahku dari depan, ahahhaa.

Ting.. Ting.. Ting (bukan ayu ting-ting)
Aku mulai mendenting-dentingkan cincinku ke kursi tembaga yang kududuki dengan posisi bersandar ini, sambil melihat penampilannya, tidak jauh berbeda, lalu kulihat matanya, tatapannya bukan tatapan ‘lelah’ lagi, bukan pula tatapan ‘excited’ tapi, apa ya? Setengah-setengah, setengah kosong, setengah bosan, seperti setengahnya kau ada di dunia lain, yang jauh lebih menyenangkan dibanding setengahnya kau yang ada di hadapanku. Ah sial, sejak kapan aku menjadi orang yang membosankan?

“Sejak kapan kau mengenakan cincin? Jarimu kan bulat-bulat dan besar, pasti cincin di jari manismu untuk ukuran jempol kakikan?” Hmmm, dia masih bisa bercanda. Kau terlihat cukup penasaran, melapas cincin itu dari jari manisku, dan mendapati cincin itu hanya cincin perak polos. Kaupun menaruhnya di atas meja, eh tidak bertanggung jawab, tidak dikembalikan ke tempatnya, ahahaa. Aku mengulum senyum mendengar ucapanmu itu.

“Sejak ada toko cincin kusus jempol kaki di mall dekat rumahku”.
Kau tahu aku berbohong, tapi tidak perduli dengan jawabanku yang ngaco itu.


“Masih bingung?”. Aku mengangguk cepat. Bingung akan apa? Aku paham pertanyaannya, dan diapun paham akan anggukanku.

Aku mengangkat wajahku dan menatap wajah tenang dihadapanku. Kini kau menghindari tatapanku dan malah sibuk dengan cappuccino panas di hadapanmu.

“Tidakkah kau lelah?”

“Lelah.” Jawabku. “Aku lelah sekali.”

Kulihat kau mengerutkan keningmu. Sebentar tampak berpikir sebelum akhirnya kembali memunculkan raut tenangmu. Hal yang paling tidak kusukai darimu. Kau selalu terlihat tenang menanggapi sikapku. Bahkan disaat aku sangat ingin bertengkar denganmu. Kau tetap tenang bahkan cenderung cuek. Seolah-olah sikapku hanya sebuah durasi yang diawali dengan ‘opening’ yang memiliki sebuah ‘closing’. Seolah sikapku hanya salah satu bentuk episode sinetron yang tak lebih dari satu setengah jam penayangannya. Begitulah kau. Yang sekarang selalu membuatku bertanya. Bahkan dalam keadaan aku tak ingin membuat diriku mempedulikanmu pun kau selalu membuatku bertanya. Dan selalu berhasil meredam segala emosi yang seharusnya sejak lama kumuntahkan dihadapanmu dengan sikap yang menenangkan. Dan kini aku ingin tau, sampai kapan kau sanggup bertahan dengan ketenanganmu ini?

“Lalu kenapa kau masih saja bertahan dengan kebingunganmu?” tanyamu lagi.
“Bukankah kau sudah lelah?”

Sebelum menjawab pertanyaan itu, sekali lagi kutatap wajahnya. Tepat di mata. Tanpa sadar aku kembali menerka apa makna dibalik tatapan tenangmu. Satu hal yang akhir-akhir ini kulakukan. Tapi malam ini berbeda. Aku tak ingin memahami jalan pikiranmu dari tatapan mata. Aku ingin menantangmu meski itu akan kembali menguras seluruh energiku. Juga mengacaukan fungsi otakku.

“Itu hanya bentuk dari adaptasi.” Aku menjawab jujur.

Kali ini kau terlihat kaget. Lalu menunduk. Selama beberapa saat yang ada hanya diam.

Taukah kau? Aku tidak pernah nyaman dengan kau dalam keadaan diam, sedangkan aku bingung apakah aku harus memulai topik baru atau menunggumu berbicara?  Aku lebih senang melihatmu tertawa, berbicara, kepada siapa saja, mentertawakan apa saja, meski ketika aku yang mulai mengambil alih pembicaraan, kau selalu memiliki cara untuk tidak memperhatikanku. Sekarang melihat kau itu seperti orang yang berjalan di dalam tabung kaca buram, melihatmu saja sulit, apalagi merangkul bahumu, kaca macam apa yang kau bentuk? Kau tahulah berapa kali aku berusaha memecahkan kaca itu, dengan berbagai macam cara, tapi ia terbentuk lagi dan lagi.


Sulit. Berat. Selama itulah yang terjadi meski -berulang kali- aku yakin kami menyadari satu sama lain meski dalam hati terus mengingkari. Menghindari.

“Sampai kapan kau akan tetap kebingungan di hadapanku? Kau pikir aku nyaman?”
“Oops, terlalu mengganggu ya?” aku menyela, namun dia meneruskan kata-katanya dengan cepat.
“Aku tidak suka melihat orang yang terus-terusan berdiri di depanku dengan kebingungan. Kau seperti memaksaku untuk berbicara, aku tidak tahu apa yang musti aku katakan.”
“Ah apa yang kau bicarakan tidak pernah memuaskan dahaga yang ada di otakku, jawabanmu selalu tidak tau, tidak mau, tidak bisa atau terserah”
“Kau fikir aku apa? Yang harus selalu memuaskan otakmu yang selalu, selalu dan selalu kehausan?”
“Ya, selalu meminta dan selalu kau tolak mentah-mentah.”

Mukamu sedikit menegang, tetapi tidak lama kemudian kamu menyandarkan tubuhmu dikursi yang kau duduki, memasang kembali raut cuekmu, nahkan, aku bingung lagi, ini ceritanya kamu mau ngomong apa aku lanjutin omongan aku? Ah lama! Akupun melanjutkan memuntahkan kata-kataku.

“Meski aku bawahan kamu, tapi kalo aku ngomong di tengah orang banyak gak kamu dengerin, gak kamu tanggepin, saat aku mau menceritakan sesuatu tapi masih ragu dan gak kamu probing aja aku pasti sedih, aku akan mikir, 'kamu bukan atasan yg baik, atau aku bawahan yg terlalu tidak becus sampe kamu gak mau pay attention’ padahal aku udah berusaha ngambil perhatian dari kamu”.

“Apa lagi aku, yang kamu kasih label 'sahabat', berulang kali aku lelah sama ke egoisan kamu, dan menyatakan aku udah ‘nyerah’ sama egoisnya kamu, eh kamu ajak ngomong aku satu kataaa aja, aku pasti lupa kalo barusan aku bilang ‘nyerah’ sama kamu.

Kenapa kamu menyamaratakan aku sama sahabat-sahabat kamu yg pernah nyakitin kamu sampe ke akar hati kamu? padahal dulu aku ditarik-tarik sama kamu untuk tempat release tensionnya kamu, untuk yang nenangin kamu dan orang yg akhirnya pura-pura sayang biar kamu sedikit lebih ngerasa berharga. Aku punya salah? Pasti, pasti aku punya salah. Tapi kamu tau berap kali aku berusaha memperbaiki kesalahan aku meski kamu cuma ngasih tau itu satu atau dua kali? Tanpa metode anu inu ini uni?

Kamu tau berapa kali aku mau pergi tapi ujung-ujungnya aku tetap stay? Kadang aku pikir aku bego, tapi aku pingin jadi orang yg baik, aku pikir kalo aku gak baik sama yg kataku sahabatku sendiri, apalagi ke orang lain?

Kamu gak adil. Saat aku yg berulang kali berusaha menarik-narik kamu dari 'lembah' kamu, memastikan kamu bisa cepat kembali baik-baik aja, yang kudapet cuman, penyamarataan itu, lucu ya aku gakmau disamaratain? Aku mau disamaratain kalo kamu punya alesan yang sama ketika dulu kamu menyamaratakan yang lainnya, hahaha, mana episode aku nyakitin kamu
-> kamu desperate-> aku gak peduli-> kamu makin desperate-> kamu mati rasa-> aku kembali ke hadapan kamu untuk minta jadi temen kamu lagi-> kamu maafin-> terus kamu samaratain. Kenapa aku musti jadi sama ama mereka yang pernah masuk di episode itu?

Kamu yang udah bikin aku naik naik naik dengan kamu yg selalu bilang "kamu gak sama ama yang lain" dan kata-kata lainnya, bahkan aku lupa apa saja itu, kamu masih mengatakannya hal-hal semacam itu tidak lebih dari dua bulan yang lalu, saat aku nanya "boleh tau? Rasa kamu ke aku sama dia apa udah sama? Udah disetarain?" Kamu masih bisa bilang dengan yakin "nggak, kamu beda, kamu percaya kalo kamu itu beda?" Yes I do, I do believe you, kataku saat itu.
Kamu tau kenapa aku kadang berfikir jelek ke kamu? Karena kamu sering melalukan hal itu ke orang lain, dan aku pikir, kenapa nggak kalo ke aku? Saat aku tanyain, kamu marah, aku minta maaf, gak lama, kamu beneran lakuin itu ke aku.

Buat kamu yg selalu berucap 'terserah aku mau apa, terserah kamu mau apa' yang penting hati kamu nyaman. Dear, cukuplah kamu dengan keegoisanmu, aku cuma mau bilang, bahagia itu kamu yang ciptain, sakit hati itu kamu yang ciptain juga, kenapa musti berubah jadi batu di hadapan orang demi bahagianya kamu? Apa cukup bahagia dengan membahagiakan diri sendiri aja? Jika jawabannya ya, jangan jadikan manusia-manusia itu sahabat kamu, jadikanlah ke egoisan itu sebagai sahabat kamu satu-satunya.”

Huaaah, ngomong apa aku barusan? Tanganku sampai dingin dan sedikit bergetar. Tapi, aku menunggu reaksinya, dalam hitungan yang biasa waktu itu singkat, tapi detik-detik yang ini terasa lama, masih tidak berburuk sangka, setiap kata-kataku, jujur, aku selalu mengharapkan respon dia yg dulu, yg serius tapi cukup lucu, yang selalu membuatku cepat untuk memaafkan sahabatku ini.

“Mmm, yaaa...”

Kedua tangankupun sudah menopang dagu, detik-detiknya cukup menundukkanku. Kau masih dalam posisi bersandar, terlihat gesturemu yang menapakkan tanda-tanda akan merespon ucapanku yang panjang kali lebar sama dengan luas barusan, akupun mengangkat alis kiriku, sebagai tanda tanya dan memintamu untuk segera melanjutkan kata-katamu.

“Yaaa terserah kamu mau gimana, akusih ya gini-gini aja, tetep sayang kok sama kamu, ya cuma aja aku emang udah begini, mau diapain dong? Kamu taukan kalo aku gaksuka di atur? Aku juga gamau ngatur kamu musti gimana-gimana.”

Akupun menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku, rasanya ingin.. Tidur.
Akhirnya aku membuka mataku, seperti yang akhir-akhir ini selalu kulakukan saat kecewa, aku, senyum selebar-lebarnya. Akupun berdiri, sedikit merapihkan pakaianku dan menggantungkan tasku yang bertali panjang di bahu kiriku.

“Oke, makasih ya, aku pulang dulu.”

Sebelum pergi dari hadapannya, aku mengusap kepalanya, kepala yang dulu sering minta ku usap ketika dia menyandarkannya di bahuku karena mengantuk atau tidak enak badan. Ahahaha, anak manja itu sekarang kemana ya?

Akupun berjalan dengan irama yang cukup kacau, pelan, cepat, cepat, pelan.
Apa aku berharap dia mengejarku dan menarik tanganku kemudian kembali diajak duduk? Bercakap-cakap sampai lupa waktu seperti dengan sahabat-sahabatku yang lain, seperti dengan dia yang dulu? Ya aku berharap. But I know, It won't be happen!

Dengan sedikit malas aku membuka pintu kaca di hadapanku, sedikit menengok ke arahnya sambil menyiapkan senyum dan tangan yang siap melambai kalau-kalau dia masih menatapku dari tempat dia duduk. Hahaha, sia-sia. Dia sedang menyeruput cappuccinonya dengan tangan kiri, sambil mengintip handphone di tangan kanannya.

Bahkan aku berdiri di balik pintu kaca ini, lima detik mungkin. Akhirnya aku melemparkan senyum dan lambaian tanganku kepadanya.

Apa dia melihat ke arahku? Tidak kok, iseng saja..

Sayangnya akulah yang tak dapat memiliki. Sayangnya kaulah yang akan dimiliki dunia.
Dan ku katakan, aku bukanlah tanda mata yang dipersembahkan dunia untuk menjadikanku duniamu. Kaulah yang menjadi tanda bahwa aku yang kini berada dalam duniamu.

Berulangkali aku berlari. Berulang kali kau melepasku pergi.
Kau tahu? Aku butuh arti.
Tidak dengan membiarkanmu terus memberi. Aku hanya memintamu membiarkan aku sekali saja kesempatan untuk memberi.
Untuk mendengarkan, dan juga untuk didengarkan.

“It’s hard to make sense, feels like if I’m sensing you, through a lense, if someone else comes I’ll just sit here listening to the drums, previously I never called it solitude, and probably you know all the dirty shows I’ve put on, nananaa...” (Mew-comforting sounds, lagu terakhir yang ku dengar dipenutup malam yang dingin ini)

-note: tinta biru: Tulisan saya. Tinta hitam: Tulisan teman saya pada cerita yang dia tulis satu tahun yang lalu dengan judul yang sama dengan judul yang saya pakai untuk tulisan ini.

No comments:

Post a Comment